Selain izin usaha industri, sertifikat halal juga dianggap penting untuk dipenuhi oleh pelaku usaha, khususnya produsen produk kebutuhan pangan maupun yang berbahan baku pangan. Tujuan sertifikasi halal tersebut pada prinsipnya adalah untuk melindungi konsumen beragama Islam, khususnya konsumen di Indonesia dengan memberikan jaminan pada dua hal, yaitu sisi kandungan dan proses produksinya. Pertama, sertifikat halal mengesahkan bahwa produk tersebut tidak mimiliki kandungan dari bahan baku yang tidak halal. Kedua, bahwa proses produksi yang dilakukan oleh perusahaan dijalankan dengan cara yang halal dan beretika dan tidak melanggar aturan.
Mengapa sertifikat halal menjadi penting? Hal ini tidak terlepas dari besarnya jumlah umat Islam yang tersebar di seluruh dunia. Di regional-regional tertentu populasinya bahkan menjadi mayoritas sehingga sangat perlu untuk menciptakan jaminan bagi kualitas konsumsi kesehariannya.
Di seluruh dunia, konsumen muslim diperkirakan sekitar 2.0 miliar jiwa dan diperkirakan meningkat hingga 2.3 miliar jiwa pada tahun 2030 yang tersebar di 112 negara. Kawasan Asia Tenggara dan Timur Tengah mewakili sekitar 500 juta konsumen muslim seluruh dunia. Indonesia merupakan negara dengan angka konsumen muslim terbesar sebanyak 217 juta jiwa yaitu sekitar 87% dari keseluruhan populasi negara yang berjumlah sekitar 260 juta jiwa tersebut.
Amanat Undang-Undang
Menilik Undang-Undang RI Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, terdapat beberapa pasal yang perlu diperhatikan terkait Jaminan Produk Halal (JPH) ini. Pasal 1 ayat 5 misalnya, menegaskan bahwa JPH sebagai kepastian hukum terhadap kehalalan suatu produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal. Di pasal 3 mengenai tujuan penyelenggaraan JPH, disebutkan dua hal, yaitu: untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk; dan untuk meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal.
Pada pasal yang lain, pasal 4, disebutkan dengan jelas bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
![]() |
Ilustrasi produk-produk yang beredar di pasar Indonesia |
Sertifikat Halal, berdasarkan pasal 5 ayat 3 UU ini, dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama. Kewenangan BPJPH ini mulai berlaku sejak tanggal 17 Oktober 2019.
Sebelum keberadaan badan ini, Sertifikasi Halal merupakan produk yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Institusi ini kemudian memiliki Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, Kosmetika, dan Makanan Majelis Ulama Indonesia (LP POM-MUI) sebagai lembaga fungsional di bawah MUI yang ditugaskan untuk mengkaji, menganalisa, dan menelaah -berdasarkan aspek sains dan teknologi- setiap produk yang mengajukan Sertifikasi Halal ke MUI. Hasil kajiannya kemudian ditelaah oleh Komisi Fatwa MUI untuk ditetapkan status kehalalannya.
MUI sendiri menetapkan standar halal, yaitu:
- Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi;
- Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-bahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran, dan sebagainya;
- Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syariat islam;
- Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, tempat pengolahan, tempat pengelolaan, dan transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi, jika digunakan untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya harus dibersihkan terlebih dahulu sesuai dengan syariat islam; dan
- Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.
Sejak Maret 2012, Sistem Jaminan Halal (SJH) dengan nama HAS 23000 telah diperkenalkan oleh MUI yang berisi persyaratan-persyaratan untuk diaplikasikan oleh semua kategori usaha. HAS 23000 memiliki 11 kriteria untuk SJH sebagai berikut:
- Kebijakan Halal dari perusahaan;
- Tim Manajemen Halal;
- Pelatihan dan Edukasi;
- Bahan;
- Produk;
- Fasilitas Produksi;
- Prosedur Tertulis Aktivitas Kritis;
- Kemampuan Telusur;
- Penanganan produk yang tidak memenuhi kriteria;
- Audit Internal; dan
- Kaji Ulang Manajemen.
Keberadaan Sertifikat Halal pada akhirnya dapat dirasakan manfaatnya oleh berbagai pihak, baik masyarakat sebagai konsumen maupun pelaku usaha sebagai produsen. Bagi konsumen, cantuman sertifikat atau logo halal pada sebuah produk menjadi bermakna untuk dua hal. Pertama, konsumen mendapatkan ketenangan, kenyamanan, dan keyakinan akan jaminan halal apa yang mereka konsumsi. Bagi mayoritas masyarakat muslim, tanda kehalalan yang terdapat pada produk merupakan sesuatu yang penting. Kedua, Produk yang telah lulus sertifikasi halal menjadi terjamin, aman, dan halal untuk dikonsumsi/dipakai.
Sedangkan bagi produsen, beberapa manfaat yang bisa disebutkan di antaranya adalah:
- Produk yang dihasilkan akan memiliki unique selling point (USP) yang memberinya kelebihan dibandingkan produk sejenis tanpa Sertifikat/Label Halal;
- Kesempatan yang terbuka untuk memperluas penjualan dengan memasuki pasar halal global;
- Terbukanya kesempatan untuk memasuki pasar negara-negara muslim yang memiliki daya beli tinggi (Arab Saudi, Malaysia, Brunei Darussalam, Uni Emirat Arab, Qatar, dan lain-lain);
- Diakui atau tidak, Sertifikat Halal menjadi jaminan untuk mendapatkan kepercayaan konsumen terhadap produk yang dihasilkan. Bagi produsen, pencantuman label halal dapat membangun kepercayaan dan loyalitas konsumen terhadap produk tersebut;
- Sertifikat Halal bisa menjadi pelindung bagi produk dalam negeri di dalam persaingan global. Produk bersertifikat halal di Indonesia dianggap cukup siap dan berdaya saing untuk masuk ke arena pasar bebas seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Demikian, mengapa sertifikasi halal menjadi sangat dianjurkan untuk perusahaan, khususnya produsen makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, dan sebagainya. Masyarakat Indonesia sendiri sangat memperhatikan aspek halal suatu produk.
***
Bagus sekali informasinya. semoga semakin banyak produk Indonesia yang berlabel halal ya
ReplyDelete